
Tahun 2025 dibuka dengan gelombang baru ketegangan ekonomi antara dua raksasa dunia, Amerika Serikat dan Tiongkok. Perang dagang yang sempat mereda di akhir 2023 kini kembali berkobar, namun dengan skala lebih kompleks: mencakup sanksi teknologi, blokade logistik, dan kampanye finansial digital. Perang ekonomi global kini bukan hanya soal tarif impor, melainkan dominasi ideologi, teknologi, dan pengaruh geopolitik lintas benua.
Kronologi Ketegangan Terbaru: Sanksi dan Balasan
Awal Januari 2025, pemerintah AS melalui Departemen Perdagangan mengumumkan pembatasan ekspor chip semikonduktor canggih ke Tiongkok. Langkah ini menyasar perusahaan-perusahaan AI dan militer Tiongkok yang dinilai “mengancam stabilitas global dan hak asasi digital.”
Tiongkok merespons dengan mengumumkan pembatasan ekspor logam tanah jarang (rare earth) ke negara-negara sekutu AS, termasuk Jepang dan Jerman. Tak hanya itu, Beijing juga meningkatkan kontrol atas investasi asing dan menutup beberapa fasilitas milik perusahaan AS di Shanghai dan Chengdu.
Menurut laporan Bloomberg, ketegangan ini telah menyebabkan penurunan nilai tukar Yuan sebesar 3,2% dalam dua pekan terakhir, sementara indeks Dow Jones turun 4% akibat kepanikan investor global.
Dampak Langsung: Pasar Global dan Industri Strategis
Ketegangan ini memukul sejumlah sektor strategis seperti:
- Industri otomotif (karena ketergantungan pada chip dan litium)
- Industri teknologi (terutama produsen perangkat keras dan AI)
- Energi terbarukan (karena pasokan logam tanah jarang terganggu)
Menurut Al Jazeera Business, perusahaan-perusahaan Eropa mulai mencari alternatif rantai pasok baru ke Afrika dan Amerika Latin. Namun, proses ini tidak instan dan memicu kenaikan harga barang elektronik secara global.
Analisa Pakar: Ini Bukan Lagi Perang Dagang
Ekonom senior dari Oxford Economics, Dr. Nora Feldman, menyebut konflik ini sebagai “perang ekonomi struktural jangka panjang.”
“Yang terjadi bukan lagi sekadar saling balas tarif. Ini adalah perebutan dominasi ekonomi global di bidang strategis seperti teknologi AI, energi hijau, dan mata uang digital,” ungkapnya kepada Reuters.
Feldman menyoroti bahwa salah satu titik kritis dari ketegangan ini adalah AI. Amerika tak ingin Tiongkok mendominasi pengembangan model AI generatif dan infrastruktur cloud skala besar.
Baca juga: Teknologi AI Terbaru 2025 yang Menggebrak Dunia Digital
(Artikel ini membahas bagaimana AI menjadi senjata strategis dalam rivalitas global)
Peran AI dan Teknologi dalam Perang Ekonomi
Salah satu dimensi yang membedakan perang ekonomi global 2025 dengan sebelumnya adalah penggunaan teknologi. Amerika mendorong aliansi Tech Democracy Bloc, yang berisi negara-negara NATO dan sekutu Indo-Pasifik untuk berbagi riset AI, blokade ekspor teknologi sensitif ke Tiongkok, dan membentuk standar etika AI internasional.
Sebaliknya, Tiongkok mempercepat peluncuran sistem AI nasionalnya, yang disebut DragonMind, dan memperkuat kerja sama dengan Rusia, Iran, dan negara-negara BRICS.
Ketegangan ini menunjukkan bahwa teknologi bukan lagi alat bantu ekonomi, tapi senjata geopolitik.
Prediksi Ke Depan dan Strategi Negara Berkembang
Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, India, Brasil, dan Afrika Selatan kini berada di tengah pusaran tarik-menarik kekuatan. Banyak di antaranya mencoba bersikap netral sembari memperkuat kedaulatan ekonomi masing-masing.
Bank Dunia memprediksi pertumbuhan global akan melambat hingga 2,3% pada kuartal kedua 2025 jika ketegangan tidak segera mereda.
Indonesia sendiri melalui Kementerian Luar Negeri menyatakan akan mendukung upaya mediasi multilateral dan mendorong ASEAN memainkan peran strategis sebagai penyeimbang.
Kesimpulan
Perang ekonomi global 2025 bukan sekadar konflik antar dua negara adidaya. Ini adalah persaingan struktur ekonomi, ideologi teknologi, dan dominasi geopolitik masa depan. Ketika AI, energi, dan data menjadi komoditas utama, setiap keputusan kebijakan kini memiliki dampak lintas benua.
Dunia tengah menghadapi babak baru konfrontasi tanpa senjata, namun dengan daya rusak besar. Pertanyaannya, apakah diplomasi dapat mengejar kecepatan konfrontasi ekonomi ini?