
Dunia hukum dan penegakan keadilan memasuki era baru. Di tahun 2025, kecerdasan buatan tak hanya membantu menganalisis data, tapi juga terlibat aktif dalam proses penyelidikan kejahatan. AI dalam investigasi kriminal kini menjadi bagian penting dari sistem penegakan hukum di banyak negara, mulai dari pengenalan wajah pelaku, prediksi lokasi kejahatan berikutnya, hingga pembuatan profil psikologis tersangka.
Namun, seiring meningkatnya penggunaan sistem ini, muncul pula pertanyaan mendalam: sejauh mana kita bisa mempercayakan tugas “menegakkan keadilan” pada algoritma?
Teknologi AI di Balik Investigasi Modern
Sistem AI yang digunakan dalam investigasi kriminal biasanya mencakup:
- Facial Recognition: mencocokkan wajah dari CCTV dengan database kepolisian
- Predictive Policing: memprediksi lokasi atau waktu kejadian kriminal berikutnya
- Crime Pattern Analysis: membaca pola kejahatan dari data wilayah, pelaku, dan korban
- Behavioral Profiling: menyusun profil pelaku dari pola bahasa, gerakan, dan kebiasaan digital
- Voice Stress Analysis: menganalisis nada suara untuk mendeteksi kebohongan
Menurut laporan Bloomberg Justice, lebih dari 40% departemen kepolisian di negara-negara G20 kini menggunakan AI dalam minimal dua tahapan investigasi【source†Bloomberg Justice】.
Studi Kasus: AI yang Memecahkan Kasus Misteri
Pada Maret 2025, polisi di Tokyo berhasil menangkap pelaku pembunuhan berantai setelah sistem AI milik mereka, Hikari-7, mengenali pola jam aktivitas pelaku dari rekaman lalu lintas dan transaksi kartu transportasi. AI juga menemukan pola korelasi antara lokasi korban dan jam aktivitas toko roti langganan pelaku.
Tanpa bantuan algoritma, penyidik menyebutkan prosesnya bisa memakan waktu hingga 4 bulan lebih lama.
Baca juga: AI dalam Genetika Manusia 2025: Manipulasi DNA Kini Jadi Layanan Komersial
Baca juga: AI dalam Satelit Pengintai: Ancaman Serius bagi Privasi Global?
Keuntungan AI dalam Investigasi Kriminal
Manfaat dari penggunaan AI sangat nyata:
- Analisis data lebih cepat dan objektif
- Penurunan waktu penyelidikan dari minggu menjadi hari
- Kemampuan memproses jutaan data CCTV atau laporan publik
- Deteksi hubungan antar-kejahatan lintas kota atau negara
- Pengurangan beban kerja penyidik manusia
Bahkan beberapa kasus penculikan berhasil diselamatkan karena AI mengenali perubahan pola aktivitas korban dari sinyal ponsel dan smart home system.
Risiko dan Kontroversi Etis
Namun, di balik efisiensi tersebut, risiko besar juga mengintai:
- Bias Algoritma: AI dilatih dari data historis, yang sering kali mencerminkan bias ras, gender, dan ekonomi
- False Positive: Kesalahan identifikasi wajah menyebabkan orang tak bersalah ditahan
- Invasi Privasi: Pemantauan warga sipil secara masif oleh sistem tidak selalu melalui izin hukum
- Overreliance: Polisi mulai terlalu mengandalkan AI, mengurangi proses investigasi manual
“Jika kita terlalu percaya pada sistem AI yang tidak transparan, keadilan bisa berubah menjadi kalkulasi dingin,” kata Prof. Elena Gomez, pakar forensik digital dari University of Oxford.
Negara dengan Implementasi Penuh
Beberapa negara yang telah mengadopsi AI dalam investigasi kriminal secara luas antara lain:
- Amerika Serikat: Sistem COMPAS dan PredPol digunakan oleh banyak departemen polisi
- Tiongkok: Mengintegrasikan data sosial, keuangan, dan lokasi dari warga dalam sistem deteksi kriminal proaktif
- Inggris: Menggunakan AI untuk profiling perilaku dan prediksi risiko residivis
- Korea Selatan & Jepang: Memiliki sistem canggih berbasis data real-time dan integrasi CCTV nasional
Penolakan dan Perlawanan Sipil
Muncul pula gerakan anti-surveillance dan digital rights:
- LSM dan aktivis HAM menuntut moratorium penggunaan AI untuk penangkapan langsung
- Pengadilan di Prancis dan Belanda memutuskan facial recognition tidak boleh jadi dasar tunggal penahanan
- Gerakan “Don’t Profile Me” di AS menuntut transparansi kode dan audit publik terhadap algoritma kepolisian
Amnesty International menyatakan bahwa penggunaan AI tanpa regulasi dapat merusak prinsip presumption of innocence atau praduga tak bersalah【source†Amnesty International】.
Regulasi: Masih Abu-Abu
Per 2025, regulasi penggunaan AI di dunia investigasi masih berbeda-beda:
- Uni Eropa: mewajibkan sistem AI dapat dijelaskan dan diaudit secara independen
- AS: masing-masing negara bagian membuat aturan sendiri, banyak yang belum melarang sepenuhnya
- Asia Tenggara: masih terbatas pada sistem analisis video dan pelacakan kendaraan
Beberapa organisasi mendesak PBB untuk menyusun Deklarasi Etika AI dalam Penegakan Hukum sebagai acuan global.
Akankah Polisi Manusia Digantikan?
Meski banyak tugas investigasi kini dilakukan AI, peran polisi manusia belum tergantikan sepenuhnya:
- AI tidak bisa menginterogasi secara empatik
- Keputusan hukum tetap berada di tangan penyidik dan jaksa
- Analisis AI hanya rekomendasi, bukan keputusan akhir
Namun, peran manusia makin digeser menjadi pengawas sistem ketimbang pelaksana utama.
Kesimpulan
AI dalam investigasi kriminal adalah revolusi yang tak bisa dihindari. Ia membantu menyelesaikan kasus lebih cepat, memproses data lebih luas, dan mendeteksi pola yang tak terlihat oleh manusia.
Namun, jika tidak diawasi dan diatur secara adil, teknologi ini bisa mengubah sistem keadilan dari pengayom publik menjadi mesin identifikasi yang tak mempedulikan nilai-nilai kemanusiaan.
Polisi digital bisa menjadi alat keadilan baru—atau algoritma berbahaya—tergantung siapa yang mengendalikannya.