
Di era digital, peperangan tak lagi berlangsung di medan tempur konvensional. Serangan kini diluncurkan dari balik layar monitor, menargetkan jaringan listrik, bank sentral, data pemerintahan, bahkan infrastruktur rumah sakit. Itulah realitas pertahanan siber global di tahun 2025—sebuah medan perang baru yang tak kasat mata, tetapi sangat nyata.
Negara-negara adidaya dan kekuatan bayangan berlomba membangun sistem pertahanan siber canggih, sementara kecerdasan buatan (AI) mulai memainkan peran kunci dalam serangan dan perlindungan.
Eskalasi Serangan Siber Global
Menurut laporan tahunan World Economic Forum (WEF), serangan siber kini masuk tiga besar ancaman global terbesar, bersaing dengan krisis iklim dan ketidakstabilan geopolitik. Sepanjang 2024–2025, lonjakan serangan ransomware dan spionase digital meningkat drastis, terutama di sektor energi, keuangan, dan pertahanan.
Beberapa insiden besar yang mencuat:
- Serangan SolarWinds 2.0: Kelompok peretas negara diyakini menyusup ke lembaga pemerintahan AS dan Eropa dengan metode baru.
- Pemadaman Listrik Skala Nasional di Bangladesh akibat malware tersembunyi dalam sistem SCADA.
- Deface dan Data Leak di Infrastruktur NATO, menunjukkan lemahnya lapisan enkripsi beberapa negara.
AI dalam Pertahanan Siber: Pedang Bermata Dua
AI kini menjadi alat pertahanan sekaligus senjata. Sistem AI mampu:
- Mendeteksi anomali jaringan secara real-time.
- Mengotomatiskan respons terhadap serangan (auto-isolasi sistem).
- Melakukan threat-hunting aktif terhadap sinyal digital mencurigakan.
Namun di sisi lain, peretas juga memanfaatkan AI untuk:
- Membuat malware adaptif yang berubah bentuk.
- Melakukan serangan spear phishing yang lebih meyakinkan dengan data yang dikumpulkan dari internet terbuka.
- Menyebarkan deepfake untuk disinformasi dan sabotase sosial-politik.
Baca juga:
- Deepfake Politik 2025: Manipulasi Realitas dalam Kampanye Dunia
- AI dalam Perang Siber: Senjata Digital Tak Terlihat
Negara Terdepan dalam Pertahanan Siber Global
🇺🇸 Amerika Serikat
Dengan badan seperti CISA (Cybersecurity and Infrastructure Security Agency) dan kolaborasi bersama sektor swasta seperti Microsoft dan Google, AS menjadi pionir dalam pertahanan siber ofensif dan defensif.
🇨🇳 Tiongkok
Membangun Great Firewall 2.0, sistem pertahanan dan pengawasan digital masif. Diduga kuat mengembangkan cyber weapons berbasis AI untuk mengontrol opini publik dan menyerang aset digital lawan.
🇷🇺 Rusia
Memiliki kelompok peretas terorganisir seperti APT29 dan Sandworm, yang diduga terkait militer. Rusia fokus pada disinformasi, sabotase siber, dan spionase digital.
🇮🇳 India & 🇮🇩 Indonesia
Mulai memperkuat kapasitas siber nasional dengan mendirikan pusat keamanan siber, terutama setelah beberapa kali terkena kebocoran data besar.
Infrastruktur Kritikal: Target Favorit Serangan
Sistem berikut adalah target utama karena dampaknya langsung pada publik:
- Jaringan Listrik
- Bandara dan Transportasi Umum
- Bank & Bursa Saham
- Data Kesehatan Nasional
- Pusat Data Pemerintah
Menurut Kaspersky Threat Intelligence, 73% dari serangan siber besar pada 2024 menargetkan infrastruktur publik.
Kolaborasi Global: Antara Harapan dan Kecurigaan
Beberapa inisiatif telah terbentuk:
- Budapest Convention: Perjanjian internasional tentang kejahatan siber yang diratifikasi lebih dari 65 negara.
- Global Forum on Cyber Expertise (GFCE): Kerja sama berbagi teknologi dan pelatihan pertahanan siber.
- ASEAN Cyber Capacity Programme: Untuk memperkuat pertahanan digital Asia Tenggara.
Namun, kolaborasi global dihambat oleh:
- Perbedaan standar hukum dan definisi “serangan siber.”
- Kecurigaan antarnegara, terutama antara blok barat dan timur.
- Kekhawatiran terhadap pengawasan dan pelanggaran privasi oleh mitra.
Strategi Bertahan: Dari Firewall ke Zero Trust
Pendekatan baru dalam pertahanan siber global tidak lagi mengandalkan sistem perimeter klasik. Dunia kini bergerak ke model Zero Trust Architecture (ZTA)—di mana setiap pengguna, perangkat, dan aplikasi harus diverifikasi secara ketat, bahkan di dalam jaringan internal.
Sistem ZTA ditenagai AI dan behavioral analytics untuk mengawasi aktivitas pengguna. Jika ada perilaku mencurigakan—akses langsung dicabut tanpa intervensi manusia.
Masa Depan: Quantum dan Perang Siber Generasi Baru
Quantum Computing menjadi kekhawatiran besar. Komputer kuantum bisa memecahkan enkripsi konvensional dalam hitungan detik. Jika jatuh ke tangan yang salah, bisa menyebabkan kehancuran sistem keuangan dan pertahanan digital global.
Sebagai respons, proyek Post-Quantum Cryptography (PQC) kini dikebut di Eropa dan Amerika.
Kesimpulan
Pertahanan siber global bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Negara yang gagal berinvestasi di ranah ini berisiko lumpuh secara digital dalam hitungan menit.
Dengan ancaman dari AI, deepfake, quantum, dan perang informasi, perlindungan tidak bisa hanya bergantung pada firewall dan antivirus. Dunia butuh ekosistem keamanan siber yang kolaboratif, transparan, dan terus beradaptasi dengan ancaman baru.